SAMARINDA, 1bangsa.id – Isu ketidakjelasan status tanah di kawasan Embalut, Batu Cermin, dan Batu Besaung, Samarinda, menjadi sorotan serius di Kalimantan Timur. Tanah yang selama puluhan tahun telah menjadi permukiman warga, fasilitas publik, dan bahkan lokasi tambang batu bara, masih tercatat sebagai kawasan cadangan transmigrasi menurut peta Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Ketua Komisi I DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu, menyoroti keresahan masyarakat yang merasa hak atas tanah tempat tinggal mereka tidak diakui.
“Bagaimana mungkin tanah yang sudah dihuni puluhan tahun tiba-tiba dianggap sebagai kawasan transmigrasi? Tidak ada patok atau tanda yang menunjukkan status ini sebelumnya,” ujar Baharuddin, Senin (2/12/2024).
Hambatan Pembangunan Infrastruktur
Ketidakpastian status tanah ini tidak hanya berdampak pada warga, tetapi juga menghambat pengembangan infrastruktur yang direncanakan pemerintah daerah. Salah satu proyek strategis yang terganggu adalah Jalan Ring Road Samarinda, di mana proses pembebasan lahan terhenti akibat status tanah yang masih diklaim sebagai kawasan transmigrasi.
Baharuddin mendesak Kementerian Transmigrasi RI untuk segera mengambil langkah konkret demi menyelesaikan permasalahan ini.
“Kementerian Transmigrasi tidak perlu memikirkan program baru sebelum menyelesaikan masalah lama ini. Jika tidak segera ditangani, konflik tanah bisa menjadi ancaman serius,” tegasnya.
Dampak Sosial dan Ancaman Konflik
Masalah ini tidak hanya menjadi persoalan birokrasi, tetapi juga menyangkut hak asasi warga atas tempat tinggal dan penghidupan mereka. Ketegangan sosial mulai terasa di masyarakat, terutama bagi mereka yang tidak menyadari status tanah yang ditempati.
Selain itu, ketidakpastian ini menjadi tantangan serius bagi Kaltim yang kini menjadi pusat perhatian nasional sebagai lokasi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Baharuddin mengingatkan bahwa konflik tanah seperti ini dapat menimbulkan hambatan baru dalam pembangunan IKN.
“Ketidakpastian status tanah dapat menciptakan keresahan sosial yang menghambat pembangunan daerah dan nasional,” ujarnya.
Solusi Mendesak dari Pemerintah Pusat
DPRD Kaltim menekankan perlunya tindakan cepat dari pemerintah pusat untuk mengakhiri polemik ini. Beberapa langkah yang diusulkan meliputi:
1. Pemetaan ulang kawasan transmigrasi: Tanah yang telah menjadi permukiman warga atau fasilitas publik harus dilepaskan kepada pemerintah daerah dan masyarakat.
2. Pelepasan kawasan transmigrasi: Penyerahan lahan kepada pemerintah daerah untuk mendukung pengembangan infrastruktur.
3. Sosialisasi status tanah kepada warga: Menghindari kebingungan di masa depan melalui komunikasi yang transparan.
4. Dialog intensif: Melibatkan pemerintah daerah, Kementerian Transmigrasi, dan masyarakat untuk menemukan solusi adil dan berkelanjutan.
Menjaga Keadilan dan Masa Depan Kaltim
Ketidakpastian ini, kata Baharuddin, bukan hanya soal tanah, tetapi soal keadilan dan kesejahteraan masyarakat Kaltim.
“Ini bukan hanya soal tanah, tetapi soal keadilan dan masa depan masyarakat Kalimantan Timur,” pungkasnya.
DPRD Kaltim berharap pemerintah pusat segera mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan masalah ini, sehingga konflik dapat dihindari, pembangunan berjalan lancar, dan masyarakat dapat menikmati hak mereka tanpa hambatan.#
Reporter: Fathur | Editor : Wong | ADV DPRD Kaltim