Jeritan Keadilan dari Dusun Durin Simbelang

Di sebuah rumah sederhana di Dusun I, Desa Durin Simbelang, suara napas Josniko Tarigan masih berat menahan nyeri. Luka di kepala bagian kanannya belum sepenuhnya pulih, sisa dari peristiwa malam nahas pada 4 Juni 2025 lalu—malam yang mengubah hidupnya selamanya.

Josniko, 30 tahun, korban pembacokan brutal yang diduga dilakukan oleh dua pria tak dikenal, masih berusaha bangkit dari trauma fisik dan batin. Malam itu, sekitar pukul 00.30 WIB, ia baru saja keluar dari warung di Jalan Jamin Ginting. Langkahnya pulang ke rumah terhenti oleh laju motor Honda CBR merah yang menepi cepat ke arahnya. Tanpa banyak bicara, seorang pria di boncengan mengayunkan senjata tajam—samurai—ke arah kepala Josniko.

“Saya kenal yang bawa motornya. Dia Nopa, orang satu kampung sebelah di Namoriam,” ucap Josniko lirih, mengenang detik-detik pembacokan itu. Ia tidak mengenali si pelaku utama yang menebaskan senjata.

Luka yang menganga membuatnya harus menjalani operasi selama delapan jam di RSUP H. Adam Malik Medan. Namun luka lain yang kini menganga lebih dalam—di hatinya—adalah ketika mendengar bahwa Nopa alias Lis S, pria yang diduga mengantar si eksekutor, justru dibebaskan oleh polisi setelah sempat ditangkap.

Padahal, laporan resmi telah dibuat pada hari yang sama oleh ayahnya, Posman Tarigan. Bukti laporan resmi terdata: STTLP/B/240/VI/2025/SPKT/POLSEK PANCUR BATU. Bahkan, penangkapan terhadap Nopa dilakukan berdasarkan informasi warga dan surat penangkapan resmi. Tapi entah mengapa, penahanan tidak dilanjutkan.

“Saya kecewa. Kami berharap keadilan, bukan pelepasan. Anak saya bisa saja mati malam itu,” tegas Posman, suaranya bergetar. “Polisi bilang tidak ada saksi jelas, hanya si Ersada yang lihat dari jarak 50 meter. Tapi bagaimana mungkin surat penangkapan bisa terbit kalau sebelumnya tidak ada bukti awal?”

Hingga kini, keluarga Tarigan menanti kepastian. Kepolisian berdalih bahwa proses penyidikan masih berjalan dan meminta keluarga untuk bersabar. Namun bagi keluarga korban, waktu tak berjalan lambat. Setiap detik terasa menyiksa, terlebih ketika pelaku masih bebas berkeliaran.

Kapolsek Pancur Batu, Kompol Djanuar, memilih bungkam saat dimintai konfirmasi. Namun Kanit Reskrim menyampaikan bahwa proses penyelidikan tetap berlanjut.

Di tengah kabut ketidakpastian hukum, Josniko hanya bisa berharap: bahwa hukum tidak akan memihak pada kekuasaan, tapi pada kebenaran. Dan bahwa luka di kepalanya, tak akan menjadi simbol abainya keadilan di negeri ini. #

Artikel bersumber dari bestnews19.com/ charle

Share Post
penganiayaan
Comments (0)
Add Comment