1BANGSA.ID — Di balik berkas-berkas Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang menumpuk di meja sidang DPRD Sulawesi Tengah, terdapat tumpukan lain yang lebih tak kasat mata: harapan warga yang bergantung pada secarik usulan bernama pokok-pokok pikiran, atau singkatnya pokir.
Pokir sejatinya lahir dari janji kampanye, janji mulia bahwa suara rakyat tidak berhenti di bilik suara. Tapi di ruang-ruang sidang itu, harapan kadang menjelma kekhawatiran — antara diterima sebagai program nyata, atau berhenti di meja birokrat dengan stempel tidak layak.
Jembatan Aspirasi yang Buntu
Wakil Ketua III DPRD Sulteng, Muharram Nurdin, beberapa waktu lalu mengetuk palu rapat sambil menahan heran. Di depannya, dokumen RAPBD 2024 terbuka. Puluhan pokir anggota DPRD yang sudah diinput di Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) justru ditolak beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Alasannya? Larangan KPK, kata OPD. Tapi anggota dewan yakin: pokir itu sah, lahir dari hasil serap aspirasi di dapil — dari gang sempit di pelosok desa, hingga lorong pasar di jantung kota.
“Kalau pokir sudah masuk SIPD, lalu ditolak, itu lucu. Aspirasi rakyat mau dibawa ke mana?” keluh Muharram.
Di lapangan, pokir sering berupa pembangunan saluran irigasi, renovasi rumah ibadah, atau bantuan usaha mikro — program-program kecil yang bisa menambal bolong di sana-sini ketika program induk tak sanggup menjangkau semua.
Pokir: Jembatan atau Jerat?
Kenyataannya, pokir juga punya wajah gelap. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut pokir sebagai titik rawan korupsi. Praktik titip proyek, rekanan pesanan, hingga permainan fee adalah kabar lama yang belum pernah benar-benar usang.
“Jangan main-main soal pokir ini. Yang mengeksekusi tetap eksekutif. DPRD hanya usul, tidak boleh atur rekanan,” tegas Tito di hadapan Musrenbang RPJMD NTB 2025–2029.
Pernyataan keras ini bukan tanpa alasan. Jambi, Jawa Timur, Sumatera Utara — deretan nama DPRD yang tercatat berurusan dengan KPK karena pokir, jadi semacam peringatan bahwa jembatan aspirasi bisa berubah jadi jerat bagi wakil rakyatnya sendiri.
Bersih, Bukan Bersih-Bersih
Bagi Sony Tandra, anggota Banggar DPRD Sulteng, masalah pokir bukan hanya soal SOP, tapi soal keadilan dan konsistensi.
“Negara ini diatur undang-undang, bukan selera OPD. Pokir bagian dari tugas dewan menyampaikan suara rakyat,” katanya.
Tapi nyatanya, di lorong birokrasi, suara rakyat sering kalah nyaring dibanding kepentingan politik atau regulasi yang berubah-ubah. Yang kalah selalu sama: warga di pinggir jalan berlubang, petani sawah kering, musholla reyot di gang sempit.
Jalan Tengah: Audit dan Transparansi
Dosen Keuangan dan Perbankan Agusandi melihat persoalan pokir sebagai ruang abu-abu yang bisa dibersihkan. Kuncinya: transparansi dan audit. “Audit semua pokir dewan, biar bersih. Kalau niatnya benar, kenapa harus takut?” katanya.
Sementara di sudut ruang sidang, janji-janji pokir menunggu giliran disetujui. Di luar gedung, warga masih berharap. Bahwa pokir benar-benar wujudkan mimpi — bukan sekadar anggaran di kertas kerja.
Karena di akhir cerita, pokir bukan cuma angka di APBD. Ia adalah jembatan yang mestinya menghubungkan suara di gang sempit ke panggung pembangunan. Entah jadi jembatan, atau jadi jerat — waktu yang membuktikan. #
Editor: Wong