1BANGSA.ID-Sabtu sore di Bukit Pelangi, Sangatta, suasana penutupan Pekan Pemuda KNPI Kutai Timur berlangsung meriah. Namun di balik panggung musik dan tenda-tenda UMKM, perhatian Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman justru tertuju pada persoalan lain yang lebih mendesak: konflik antara manusia dan buaya yang terus berulang di wilayahnya.
Di hadapan para peserta acara, Ardiansyah menyampaikan perkembangan terbaru mengenai rencana pembangunan penangkaran buaya—solusi jangka panjang untuk mengurangi serangan predator yang selama bertahun-tahun menghantui bantaran sungai dan pesisir Kutai Timur.
Kutai Timur adalah rumah bagi buaya muara (Crocodylus porosus), salah satu spesies buaya terbesar di dunia yang dikenal agresif, mampu tumbuh lebih dari lima meter, dan sanggup bergerak bebas dari muara hingga sungai-sungai kecil yang dekat permukiman. Dalam beberapa tahun terakhir, laporan warga mengenai penampakan maupun serangan predator ini terus meningkat.
“Kita tidak ingin ada lagi korban terkaman buaya,” tegas Ardiansyah.
Nada suaranya datar, tetapi mengandung kegelisahan yang panjang. Kutai Timur, dengan jaringan sungai dan rawa-rawa yang luas, memang menjadi habitat ideal bagi Crocodylus porosus. Namun di saat yang sama, perluasan permukiman dan aktivitas ekonomi masyarakat semakin mempersempit ruang aman antara manusia dan predator tersebut.
Kajian Mendalam KLHK: Harapan yang Ditunggu
Ardiansyah menjelaskan bahwa rencana pembangunan penangkaran sudah masuk dalam kajian mendalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ia berharap proses kajian dipercepat agar implementasinya segera dapat dilakukan.
“Kajian ini sudah berjalan. Mudah-mudahan tahun ini bisa selesai,” katanya.
Namun ia menggarisbawahi bahwa pembangunan penangkaran bukan kewenangan daerah. Pemerintah kabupaten hanya dapat menunggu keputusan dan dukungan dari KLHK.
“Ini sepenuhnya kewenangan kementerian. Kita siap membantu, tapi keputusan utama ada di KLHK.”
Penangkaran: Bukan Sekadar Tempat Penitipan Predator
Gagasan penangkaran bukan sekadar memindahkan buaya yang dianggap “mengganggu” ke lokasi terkontrol. Lebih dari itu, ini adalah strategi mitigasi jangka panjang untuk mengelola populasi Crocodylus porosus yang terus meningkat dan semakin sering memasuki wilayah permukiman.
Dalam konsep penangkaran modern, buaya yang tertangkap di wilayah rawan akan direlokasi, diperiksa kondisinya, lalu ditempatkan pada area yang aman untuk manusia sekaligus ideal bagi kebutuhan ekologis predator tersebut. Penangkaran juga dapat menjadi pusat edukasi, penelitian, bahkan ruang wisata konservasi—selama dilakukan dengan prinsip kesejahteraan satwa.
Kajian KLHK diharapkan mengukur tiga hal utama:
-
Keselamatan manusia di wilayah rawan serangan.
-
Kesesuaian habitat untuk menampung populasi buaya dalam kondisi terkontrol.
-
Dampak ekologi jika sebagian buaya dipindahkan dari habitat alaminya.
Serangan buaya di sungai-sungai Kutai Timur tak lagi musiman. Warga yang menggantungkan hidup pada aktivitas sungai—memancing, mandi, atau menyeberang—menjadi pihak paling rentan. Setiap laporan serangan baru selalu menjadi pengingat bahwa predator purba ini hidup berdampingan dengan manusia dalam jarak yang semakin dekat.
Di tengah urgensi itu, penangkaran dipandang sebagai jalan tengah: manusia aman, buaya tidak dimusnahkan. Tetapi tanpa keputusan cepat dari KLHK, Kutai Timur hanya bisa menunggu sambil berharap tidak ada lagi korban berikutnya.
AR