BALIKPAPAN- Sidang lanjutan kasus penggelapan aset perusahaan dengan terdakwa Zainal Muttaqin (Zam) yang merupakan mantan Direktur Utama (Dirut) PT Duta Manuntung (Kaltim Post) dan PT Jawa Pos Jaringan Media Nusantara (Jawa Pos) kembali bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan, Kamis (16/11/2023).
Sidang lanjutan ini beragendakan sidang pembelaan atau pledoi yang disampaikan Terdakwa dan Tim penasehat hukum Zam dihadapan majelis hakim.
Sidang yang dijadwalkan jam 11.30 wita, mundur hingga pukul 14.15 wita. Sidang ini dipimpin langsung Ketua PN Balikpapan yang juga Hakim Ketua Sidang Ibrahim Palino.
Terdakwa datang dengan didampingi penasehat hukumnya Sugeng Teguh Santoso, Prasetyo dan Mansuri.
Dalam pembelaan terdakwa, yang ditulis tangan di atas kertas putih bergaris dibacakan langsung oleh terdakwa dihadapan majelis hakim yang diketuai oleh Ibrahim Palino.
Zam menyoroti tim JPU yang didatangkan dari Jakarta sejak awal sidang. Selama menggeluti profesi kewartawanan di Balikpapan sejak tahun 1990, baru pertama kali ada sidang di PN Balikpapan mendatangkan tim JPU-nya dari Jakarta.
Selepas dari tahanan Bareskrim Mabes Polri, Zam katakan, dikawal langsung Jaksa Afrianto yang memperkenalkan diri sebagai jaksa dari kejaksaan agung Jakarta.
“Dan setiap kali sidang selalu bertemu jaksa Afrianto” kata Zam.
Zam membayangkan betapa mahalnya negara membiayai persidangan terhadap dirinya. Karena pastinya pembiayaan itu tidak sedikit, jika diperkirakan bisa mencapai ratusan juta.
“Karena berdasarkan pengalaman saya, menghadiri panggilan dari penyidik Bareskrim Mabes Polri di Jakarta beberapa kali. Saya harus merogoh kantong saya sampai puluhan juta rupiah untuk biaya tiket pesawat terbang,” kata Zam.
Dalam sidang ini terdakwa mantan direktur utama (Dirut) PT. Duta Manuntung (PT. DM), didakwa dengan pasal 374, yakni melakukan penggelapan dalam jabatan. Zainal Mutaqin dilaporkan oleh Dirut PT. DM yang sekarang, Ivan Firdaus ke Bareskrim Mabes Polri Jakarta.
Sementara itu, Ketua tim penasehat hukum Zam, Sugeng Teguh Santoso menyakini bahwa kliennya sengaja dipidana dan dirampas aset kepemilikannya.
Sugeng menyebut, atensi penyidik dan kejaksaan atas kasus ini besar. Ini bisa dilihat melalui pengerahan tiga jaksa langsung dari Jakarta, dan surat tuntutan yang janggal.
“Pengerahan tiga jaksa langsung dari Jakarta itu membutuhkan biaya besar, lalu siapa yang membiayai setiap sidang, ” ucapnya didampingi penasihat hukum lainnya, Prasetyo dan Mansuri.
Kasus ini, menurut Sugeng, dipaksakan agar terdakwa diarahkan dipidana. Kemudian dengan dasar itu asetnya akan dirampas dan dirampok menggunakan instrumen hukum.
Mengulang kesaksian Dr. Abdul Rais SH, MH ketika mendampingi terdakwa Zam memberikan keterangan kepada petugas di Bareskrim Mabes Polri. Sugeng katakan, ketika memasuki tengah malam, terdakwa Zam didatangi Kepala Unit (Kanit) di Bareskrim itu dan dibentak-bentak.
“Sejak permintaan keterangan di Mabes Polri, polisi pemeriksa sudah berlaku tidak wajar,” kata Sugeng.
Sugeng bersama timnya juga menyoroti tuntutan JPU yang tidak menyertakan fakta-fakta yang meringankan dari terdakwa. Padahal dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, wajib untuk mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dari terdakwa.
Di Undang-undang nomor 48 berlaku selain kepada hakim, juga berlaku kepada jaksa penuntut umum. “Undang-undang merupakan representasi hukum untuk mewujudkan keadilan. Karena itu, fakta yang meringankan maupun memberatkan harus dicantumkan pada penuntutan, ” jelasnya.
Pada sidang sebelumnya, JPU sudah menuntut terdakwa Zam dengan hukuman empat tahun dan enam bulan. Dalam tuntutan menyatakan tidak ada hal yang meringankan dari terdakwa. “Karena itu kita dapat berkesimpulan bahwa jaksa penuntut umum telah bersikap tidak adil,” tegasnya.
Selaku Ketua IPW, Sugeng telah melaporkan wakil menteri hukum dan HAM (Wamenkumham), Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH, M.Hum ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan KPK telah menetapkan Wamenkumham sebagai tersangka beberapa hari yang lalu. #
Reporter: Thina | Editor: Wong