SAMARINDA- Pasar Pagi Samarinda, salah satu pasar tradisional tertua dan terbesar di kota ini, masih menghadapi berbagai masalah yang belum terselesaikan. Salah satunya adalah status kepemilikan lahan yang masih bermasalah antara pemerintah kota dan 48 pemilik sertifikat hak milik (SHM).
Pasar Pagi Samarinda berdiri sejak tahun 1946, ketika Samarinda ditetapkan sebagai ibukota keresidenan. Pasar ini menjadi pusat kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat, yang menjual berbagai kebutuhan pokok dan sembako, seperti sayur, buah, beras, gula, garam, ikan, daging, ayam, dan lain-lain.
Namun, seiring dengan perkembangan kota, pasar ini mulai terpinggirkan oleh pasar-pasar modern dan mal. Selain itu, kondisi pasar juga semakin memprihatinkan, karena bangunan pasar yang sudah tua dan rapuh, serta kurangnya fasilitas dan prasarana, seperti parkir, TPS, MCK, dan tempat ibadah.
Salah satu faktor yang menghambat pembangunan dan revitalisasi pasar ini adalah status lahan yang masih bermasalah. Pasar ini berdiri di atas lahan seluas 5.000 meter persegi, yang sebagian besar dimiliki oleh 48 pemilik SHM, yang merupakan tanah leluhur mereka, warisan dari generasi sebelumnya. Sementara itu, pemerintah kota hanya memiliki lahan seluas 1.000 meter persegi, yang merupakan bekas tanah negara.
Pemerintah kota telah berupaya untuk menyelesaikan masalah ini dengan mengajukan tawaran ganti rugi kepada pemilik SHM, baik berupa uang tunai maupun unit kios di pasar baru yang akan dibangun. Namun, hingga saat ini, belum ada kesepakatan yang tercapai, karena sebagian besar pemilik SHM menolak tawaran tersebut.
Salah satu pemilik SHM, yang enggan disebutkan namanya, mengatakan bahwa ia tidak mau menjual lahan warisannya, karena memiliki nilai historis dan sentimental. Ia juga merasa bahwa tawaran ganti rugi yang diberikan pemerintah kota tidak sesuai dengan nilai pasar.
“Kami tidak mau menjual lahan kami, Kami juga merasa bahwa tawaran ganti rugi yang diberikan pemerintah kota tidak adil dan tidak sesuai dengan harga pasar. Kami ingin mendapatkan hak kami sebagai pemilik lahan, bukan sebagai pedagang,” ujarnya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPRD Kota Samarinda, Abdul Khairin mengatakan bahwa ia khawatir dengan nasib pasar ini, jika masalah lahan tidak segera diselesaikan. Ia berharap agar semua pihak dapat duduk bersama dan berkomunikasi dengan baik, untuk mencari solusi yang win-win.
“Jujur saya agak khawatir dengan pasar ini, jika masalah lahan tidak segera diselesaikan. Pasar ini adalah aset dan warisan kota Samarinda, yang harus kita jaga dan kembangkan. Saya berharap agar semua pihak, baik pemerintah kota, pemilik SHM, maupun pedagang, dapat duduk bersama dan berkomunikasi dengan baik, untuk mencari solusi yang win-win. Saya yakin, jika komunikasi dibangun dengan baik, akan segera ketemu titik temunya,” ujar Abdul Khairin
Abdul menambahkan, bahwa pihaknya telah berbicara dengan dinas terkait, untuk mengagendakan rapat dengar pendapat (RDP) antara pemerintah kota, pemilik SHM, dan pedagang, di DPRD Samarinda.
Ia berharap, RDP tersebut dapat dilaksanakan secepatnya, agar dapat menemukan keputusan yang terbaik bagi semua pihak.
“Saya sudah bicara dengan dinas terkait, untuk mengagendakan RDP antara pemerintah kota, pemilik SHM, dan pedagang, di DPRD Samarinda. Saya berharap, RDP tersebut dapat dilaksanakan secepatnya, mungkin akhir Februari atau awal Maret, Insya Allah. Saya yakin, RDP tersebut akan menjadi forum yang baik untuk menyelesaikan masalah ini, dengan mencari titik temu yang memenangkan semua pihak. Yang penting, tidak ada yang saling merugikan, dan pasar ini dapat segera dibangun kembali,” tuturnya.
Pemerintah kota Samarinda telah berkomitmen untuk membangun dan merevitalisasi pasar-pasar tradisional di kota ini, sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat, khususnya pedagang.
Selain itu, pasar-pasar tradisional juga dianggap sebagai bagian dari identitas dan budaya kota Samarinda, yang harus dilestarikan dan dikembangkan. #
Reporter: Sandi | Editor: Wong